Saya adalah
anak perempuan satu-satunya di keluarga saya. Saya punya 1 abang, dan 2 adik. Ayah
saya berprofesi sebagai dosen, dan guru SLB. Ibu saya merupakan seorang
konselor HIV/AIDS di Klinik Kartika Rumkit Kesdam Medan. Menurut saya, keluarga
saya cukup serius, namun ada momen dimana kami tertawa bersama. Kamipun dapat
terlihat sangat kompak di beberapa foto. Ayah saya, yang sangat humoris,
jenaka, dan tidak pernah marah. Ibu saya yang galak, namun sangat polos. Abang saya
yang tingkahnya kekanakan namun lucu dan sering menciptakan panggilan aneh. Kami
memanggilnya ‘Petong’. Kedua adik saya pun sangat ceria dan humoris. Munandar (2009:80)
menyatakan bahwa bercanda, berolok-olok, dan berbagi lelucon sering terjadi
pada keluarga kreatif. Dimana faktor humor merupakan salah satu karakteristik
keluarga kreatif.
Saya sendiri
sangat menyukai dunia seni, terutama seni figural, juga seni musik. Pada saat
saya duduk di SD, saya sangat suka menggambar, terutama gambar-gambar manga
(komik). Saya suka mencoreti belakang buku saya, bahkan saya juga memanfaatkan
jatah buku baru yang diberikan oleh orang tua saya, untuk saya jadikan sebuah
buku komik. Banyak teman sekelas saya yang meminjam komik buatan saya untuk
dibaca. Rasanya sangat puas dan senang ketika mereka menyampaikan pujian
mengenai gambar dan cerita di komik ciptaan saya. Saya juga memiliki teman
sekelas yang suka menggambar komik, dan kami juga saling mendukung satu sama
lain, sehingga ini meningkatkan press dalam
diri saya. Di usia ini, saya juga sering dibelikan ayah saya majalah Bobo
setiap minggunya. Ketika orang tua saya melihat coretan gambar di buku
pelajaran saya, mereka menegur saya agar tidak membuang-buang halaman, dan menyianyiakan
buku baru untuk dijadikan sebagai komik. Namun teguran mereka hanya di awal
saja, karena setelah itu mereka membiarkan saya. Mengenai jenis kreativitas
yang saya minati menurut konten struktur intelek Guilford (dalam Munandar, 2009),
ialah bidang kreativitas figural, yaitu seni pahat/ukir, arsitektur.
Beranjak SMP,
saya masih suka menggambar komik, dan juga mulai membaca majalah-majalah remaja,
pada saat itu majalah Kawanku dan Gadis. Saya sangat menyukai rubrik kreatif
yang mengajarkan bagaimana membuat aksesoris, mendaur ulang pakaian, atau
dekorasi ruangan. Dari sini saya mulai bersahabat dengan gunting, jarum,
benang, dan perkakas jahit lainnya untuk membuat aksesoris. Akses ini juga dipermudah
dengan tersedianya peralatan jahit yang cukup lengkap yang dimiliki ibu saya. Walaupun
beliau tidak terlalu sering menjahit, namun peralatan menjahitnya sangat
lengkap. Saya pun diajari bermacam teknik menjahit, seperti jelujur, tusuk
feston, dll. Saya juga dapat menangkap hal itu dengan cepat. Hal ini juga
didukung oleh Munandar (2009) yang menyatakan bahwa sejauh mana orangtua mampu
menyediakan fasilitas, menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja anak.
Di usia ini
pun, saya mulai bersahabat dengan radio dan sering mendengarkan musik. Musik favorit
saya adalah sejenis musik rock yang
keras dan bersemangat. Orang tua saya memberikan saya kamar pribadi yang
disertai satu unit radio yang selalu saya dengarkan setiap waktu. Saya sangat sering
menghabiskan waktu di kamar, bahkan ibu saya menyebut saya ‘bertelor’ :P. Kamar
ini saya cat sendiri walaupun berantakan. Kamar ini pun mendukung segala minat
saya. Saya sering menggambar di dinding dengan cat glassdeco (cat untuk permukaan licin), menempelkan stiker glow in the dark, menempelkan poster
pemain bola, dll. Orang tua saya sempat protes dengan kegiatan saya, namun
akhirnya mereka pun membiarkan saya. Karakteristik dalam keluarga saya, dimana
kebebasan yang diberikan secara leluasa, dalam artian tidak banyak menentukan
aturan perilaku dalam keluarga (dalam Munandar:79, 2009), juga turut mendukung
minat saya.
SMA, saya
tergila-gila dengan musik post-hardcore
dan gaya ala scene girls. Gaya ini
identik dengan rambut kembang dan jepitan pita warna warni. Nah mulai lagi
eksperimen saya untuk membuat sendiri jepitan dan bando saya. Ibu saya turut
serta dalam membantu saya membeli beraneka ragam pita, manik aksesoris,
jepitan, bando, dll. Saya juga banyak belajar dan mencari info lewat youtube. Saya juga bergabung dengan
sebuah band beraliran post-hardcore/metal-core. Dengan dandanan
seperti ini, ibu saya sangat sering mengeluh. Kadang meminta persetujuan pada
ayah saya agar saya mau berhenti bergaya ala scene girls, namun saya ingat apa ucapan ayah saya: “Biarkan saja,
namanya juga anak band” hahahahha :P.
Dan akhirnya peranan faktor lingkungan, yaitu cara asuh dan iklim keluarga
(dalam Munandar:79, 2009) sangat membantu saya mengembangkan minat saya.
Saya sebenarnya
tidak ingin kuliah psikologi, karena kedua orang tua saya juga seorang
psikolog. Saya lebih tertarik dengan arsitektur ataupun design interior, namun orangtua saya tidak mengizinkan saya kuliah
di luar kota. Memasuki bangku kuliah, saya mulai mengurangi dandanan scene girls ini, karena sangat menonjol
dan terkesan berantakan jika berada di lingkungan perkuliahan. Saya hanya
berdandan jika ada acara konser, atau acara diluar kampus. Majalah yang saya
baca semakin dewasa, seperti go girl,
cosmo girl, dll. Majalah ini memberikan proyek craft yang lebih menantang lagi. Dan saya sangat menyukainya. Saya juga
semakin bersahabat dengan youtube, yang
sangat banyak menyumbangkan ide dan pengetahuan yang sangat luas. Kegiatan kampus
yang sangat padat memaksa saya menghentikan beberapa ide saya, salah satunya band. Namun saya semakin tergila-gila dengan craft dan art. Pengalaman dan pengetahuan sebelumnya memberikan banyak
kesempatan. Saya pun memiliki harapan untuk dapat memasarkan aksesoris buatan saya kelak. Dan berharap
mampu memperoleh pendidikan di dunia arsitektur ataupun design interior yang memang sangat saya minati.
Orangtua saya
cukup mendukung segala kegiatan saya dan apapun pilihan serta minat saya. Walaupun
pada awalnya mereka sempat mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap pilihan
ataupun kegiatan saya, namun pada akhirnya mereka melepaskan saya dengan pilihan
saya. Menurut Munandar (2009). Orang tua harus melatih keterampilan anak dengan
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan minatnya. Hal ini juga
didukung oleh motivasi intrinsik (press) yang
kuat dari dalam diri saya. Dimana dengan melakukan minat saya, saya memperoleh
kepuasan yang tinggi. Walaupun pada kenyataannya, kedua orang tua saya jarang
merespon (feedback) karya saya, namun
itu bukanlah hal yang penting untuk saya. Jumlah perhatian yang diberikan oleh
orangtua saya, agak minim. Kami pun diberi kebebasan dan aturan yang cukup. Kedekatan
emosional terhadap orangtua juga tergolong sedang. Karakteristik ini seperti
diungkapkan Amabile (dalam Munandar:92, 2009). Lingkungan sekitar (teman) yang memberikan dukungan
yang positif pada saya, semakin menumbuhkan rasa percaya diri saya.
Dari pola asuh
kedua orangtua saya ini, saya juga merasa mudah bergaul dengan orang lain,
dimana ciri ini merupakan salah satu karakteristik keluarga kreatif menurut
Munandar (2009:80). Saya juga mempelajari hal ini dari ibu saya. Karakteristik lain
yang dihubungkan dengan kondisi rumah kami (poin ke 7:81), sebenarnya tidak
terlalu menonjol. Ibu saya punya kebiasaan mengoleksi perangkat makan, seprei,
gorden, yang jumlahnya sangat luar biasa menurut saya, hampir 4 lemari jika
ditotal. Ibu saya juga sangat suka mengoleksi banyak pakaian, dan tas beraneka
warna. Bahkan ibu saya memiliki 1 kamar yang hanya berisi koleksi pakaian dan
tas nya. Saya rasa, dia sangat suka keindahan dan warna yang matching. Ini termasuk dalam
karakteristik gaya hidup orang tua (Munandar, 2009:81).
Saya merasa
saya dibesarkan dalam keluarga yang cukup kreatif. Hal ini terjadi menurut
Vernon (dalam Munandar, 2009: 85) karena kretivitas dapat berkembang dalam
suasana non otoriter, yang memungkinkan individu untuk berfikir dan menyatakan
diri secara bebas.